Pemerintah telah menetapkan target untuk mengakui 1,4 juta hektare hutan adat baru selama periode 2025–2029. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan bahwa pengakuan hutan adat bukan hanya bentuk penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat, tetapi juga telah terbukti mengurangi laju deforestasi sebesar 30–50 persen.
Namun, di sisi lain, Masyarakat Adat masih menghadapi berbagai bentuk represi yang mengancam eksistensi dan kearifan mereka. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang masif di berbagai daerah Indonesia, termasuk wilayah adat Papua dan Maluku. PSN yang membabat hutan sebagai habitat dan sumber kehidupan Masyarakat Adat bukan hanya menyebabkan kerusakan lingkungan secara besar-besaran, tetapi juga menimbulkan dampak sosial-ekonomi negatif yang signifikan.
Suara-suara Masyarakat Adat dalam COP30 pun masih belum banyak didengar. Padahal, Masyarakat Adat membawa suara kolektif tentang perlindungan hak-hak adat, pelestarian hutan, dan pengakuan atas wilayah adat sebagai solusi nyata terhadap degradasi lingkungan serta ketidakadilan iklim yang selama ini sering terabaikan.
Dalam diskusi pagi ini, kita akan mendengarkan seperti apa suara Masyarakat Adat di COP30. Apakah suara dan tuntutan mereka sudah sepenuhnya diakomodasi atau belum? Tantangan apa saja yang mereka hadapi?
Mari kita berbincang lebih jauh mengenai hal ini.